Menjelang Pemilu 2014, lingkaran setan
korupsi politik yang melibatkan partai politik, politisi, kroni bisnis, proyek
korup, dan birokrasi masih menjadi penyakit jalannya pemerintahan Indonesia.
Tahun 2013 menjadi tahun yang cukup rawan menjelang pemilu 2014, karena 2013
adalah tahun politik, semoga tidak menjadi tahun korupsi politik.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, pada
akhir 2013 korupsi politik diduga akan semakin memanas. Kasus mafia anggaran
akan bertambah banyak, proyek-proyek besar di APBN dan alokasi dana untuk
daerah juga rawan politisasi dan korupsi. Korupsi oleh Kepala Daerah, Anggota
DPR/DPRD, pendanaan parpol dan korupsi pemilukada akan semakin merajalela.
Semuanya diprediksi untuk mengalirkan dana untuk Pemilu 2014.
Berkaca dari vonis Wa Ode yang dituntut
dengan UU Pencucian Uang, kemungkinan pada 2013 akan semakin banyak politisi
yang akan dijerat pasal ini agar vonis tinggi dan berefek jera. Sementara,
pembahasan UU Pemilukada dan UU Pemda masih akan berlanjut tahun
2013.'Tanda-tanda zaman' Pemilu 2014 mulai terlihat, banyaknya kasus korupsi
yang melibatkan bendahara partai yang mengalir ke pendanaan politik dan
disinyalir untuk persiapan Pemilu 2014. Badan Anggaran DPR juga lekat dengan
kasus korupsi untuk kepentingan parpol. Penyaluran Dana Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah (DPID) juga diduga sarat korupsi yang berakhir pada
pendanaan parpol.
Sejak 1999, 'tradisi korupsi' menjelang
pemilu biasanya akan mengemuka. Aktor-aktor yang terlibat dalam kasus korupsi
adalah politikus, baik anggota DPR dan birokrat, pengusaha, juga staf khusus
kementerian/DPR. Peran para aktor ini pun bermacam-macam, politikus dapat
menciptakan proyek yang bisa dikerjakan dirinya ataupun rekanan dan menambah
anggaran untuk proyek tertentu. Birokrat dapat mengusulkan proyek yang akan
diarahkan kepada perusahaan tertentu. Pengusaha dapat memberikan suap dan
melobi politikus untuk mendapatkan proyek. Staf khusus dapat menjadi penghubung
antara pengusaha dengan politikus atau elit kementerian dan sebagai pelaksana
transaksi. Sebuah lingkaran korupsi yang sempurna."Kongkalikong"
antara eksekutif dan legislatif inilah yang akhirnya menggerus uang rakyat.
Baik yang mega skandal maupun kasus-kasus kecil namun rutin.
Ini memprihatinkan, terutama menjelang
2014. Disinyalir muara dari kasus korupsi politik adalah pada pendanaan politik
pemilu 2014. Hal ini in diperburuk lemahnya UU Parpol dan UU Pemilu, dimana
tidak ada pengaturan yang melarang sumber dana dari kejahatan/ tindak pidana
dan tidak ada pembatasan sumbangan dari kader anggota partai. Bawaslu/ KPU juga
tidak mampu memeriksa kebenaran penerimaan dana kampanye pemilu yang berasal
dari sumbangan.
Ada beberapa tipe umum korupsi
pemilukada yang melibatkan pemilih, peserta pemilu yang mencakup parpol dan
kandidat, pegawai negeri, dan penyelenggara pemilu. Beberapa cara yang
digunakan adalah, suap untuk memenangkan kandidat, penerimaan uang dari
organisasi kriminal untuk parpol, penyalahgunaan APBN/APBD untuk kepentingan
pemilukada, setoran dari kandidat dalam jumlah besar untuk parpol, dan lain
sebagainya. Partai politik umumnya enggan ketika dimintai laporan keuangan.
Dari 9 parpol, sebagian besar tidak berkenan memberikan dengan dalih pendanaan
parpol bukan konsumsi publik, atau memberikan laporan yang tidak lengkap,
bahkan ada parpol yang tidak punya laporan keuangan. Lemahnya regulasi turut
melanggengkan jalannya korupsi politik. Namun penegakan hukum masih lemah,
ditambah konflik antara Polri dengan KPK yang tak kunjung selesai.
Isu korupsi yang menimpa sejumlah
fungsionaris partai bukanlah hal baru. Isu yang sama juga pernah dialami
sejumlah Partai Politik (Parpol)yang pernah berkuasa di Indonesia, terlebih
menjelang Pemilu legislatif dan Pemilihan Presidsen. Sayangnya yang selalu
legislatifdanPemilihanPresiden.Sayangnyayangselalu
menjadi kambing hitam dan mendekam dalam penjara adalah oknum-oknum dari Parpol
tersebut, sementara Parpol sebagaii nstitusi berbadan hukum seolah mempunyai
kekebalan hukum. Jika sekian banyak oknum Parpol yang terjerat kasus korupsi,
muncul pertanyaan, apakah korupsi tersebut benar-benar hanya dilkaukan oleh
oknum yang bersangkutan secara pribadi? atau jangan-jangan korupsi tersebut
dilakukan secara terorganisasi dan sistematis oleh Parpol. Penyuapan politik
yang dilakukan diparlemen dalam pembuatan suatu UU, sudah menjadi rahasia umum
bahwa setiap kata, kalimat bahkan koma dan titik dalam pembahasan RUU di DPR
mempunyai nilai rupiah. Tidak sedikit uang yang digelontorkan oleh pemilik
modal kepada Parpol dalam rangka menggolkan suatu RUU. Motivasinya, agar yang
dihasilkan berpihak kepada pemilik modal (Political Bribery).
Korupsi yang berkaitan langsung dengan
kecurangan Pemilu. Parpol secara teorganisir dan sistematis telah merencanakan
kemenangan dengan cara-cara illegal yang biasanya dimulai dari pendaftaran
pemilih yang tidak akurat, penggelembungan suara, pemalsuan dokumen sampai pada
tahapan penetapan hasil Pemilu. Lazimnya, Parpol menyogok sejumlah uang kepada
petugas atau pejabat yang bertanggungjawab pada setiap tahapan Pemilu (Election
Fraud).
Sementara itu, dari kajian korupsi
politik yang terjadi di beberapa negara modern, terlihat bahwa korupsi politik
memiliki dampak lebih luas dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki posisi politik. Korupsi politik melekat dan
berlindung dengan kekuasaan. Korupsi politik lebih berada dalam stadium untuk
mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Dari konstelasi penyalahgunaan
kekuasaan dan kebutuhan ketertiban sosio-politik, menuntut adanya peran kontrol
yang sepadan terhadap pelaksanaan kekuasaan. Bagaimana karakter norma
konstitusi dalam mengatur hak-hak strategis dan sistem kepemilikan yan
gdipunyai oleh rakyat terlihat berkorelasi dengan timbulnya korupsi politik.
Kekuasaan pemerintahan diberi mandat
untukmengatur dan mendistribusikan kekayaan negara, sehingga dalam proses
pendistribusian tersebut selalu berpotensi adanya penyimpangan yang dilakukan
oleh yang berwenang yaitu pemegang kekuasaan. Dalam masyarakat yang feodalistik
terlihat adanya hambatan kontrol terhadap kekuasaan dibandingkan dengan
masyarakat yang egaliter. Faktor lain yang berkorelasi dengan korupsi politik
adalah budaya komsumtif masyarakat dalam suatu negara, terutama budaya para
pemegang kekuasaan atau pihak yang memiliki posisi politik. Sistem hukum dan
penegakan hukum yang feodalistik berkorelasi dengan timbulnya korupsi politik.
Korupsi politik yang sistemik merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Korupsi politik memiliki hubungan
korelasional dengan ideology hukum dan sistem penegakan hukum.K orupsi politik
terjadi baik di negara kapitalis, komunis, maupun fascis. Dalam negara yang
mayoritas penduduknya beragama apapun tidak kebal terhadap kejahatan korupsi
politik. Korupsi politik banyak terjadi baik di Negara Asia, Timur Tengah,
Afrika, Eropa, Amerika Latin maupun Amerika Utara. Korupsi politik tidak lepas
dari karakter kekuasaan, struktur sosial politik yang tidak adil dan lemahnya
kontrol.
Di banyak negara, perangkat hukum
seringkali tidak dapat berfungsi untukmengontrol atau mengendalikan penguasa,
sehingga terjadilah korupsi politik. Keberadaan perangkat hukum dalam suatu
masyarakat merupakan suatu keniscayaan, apalagi dalam suatu negara modern.
Hanya saja, hukum itu sendiri mengandung kekurangan-kekurangan. Kekurangan
pertama di dalam hukum itu tidak sesuai dengan kedudukan manusia yang tinggi.
Biasanya, hukum diberlakukan untuk mencegah permusuhan dan sikap melampaui
batas.Hukum diberlakukan untuk menghilangkan kelaliman. Pembenahan sistem
penegakan hukum harus melalui pemberlakuan asas legalitas secara ketat
danprinsip persamaan di hadapan hukum secara konsekuen. Untuk itu perlu adanya
pencabutan "hukum yang korup" karena hal ini menjadi faktor
penghambat pemberantasan korupsi.
Hukum yang korup adalah hukum yang
menghilangkan atau merampas hak-hak strategis yang dipunyai rakyat seperti
halnya beberapa hukum yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda,Orde Lama,
dan Orde Baru. Krisis kepercayaan kepada kedaulatan hukum merupakan faktor
penghalang bagi pemberantasan korupsi. Korupsi politik banyak berkorelasi
dengan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemimpin pemerintahan, karena korupsi
politik tidak lepas dari nafsu mempertahankan dan memperluas kekuasaan.
Penguasa atau rezim otoriter dan yang
melakukan korupsi politik pada era yang sama melakukan pelanggaran hak asasi
manusia. Penguasa atau rezim yang korupsi selalu ingin memperkuat eksistensi
kekuasaannya, sehingga apabila ada pihak atau kelompok yang kritisakan dihadapi
dan dibasmi oleh penguasa atau rezim korup itu dengan segala macam cara.
Termasuk melakukan upaya represif dan tindakan yang tidak manusiawi, dan
melanggar hak asasi manusia. Penanggulangan korupsi politik menuntut adanya
aturan hukum dan prosedur penerapan hukum yang spesifik, karena menyangkut
kejahatan yang berdimensi kekuasaan politik dan/atau pihak yangmempunyai
kekuatan ekonomi.
Konsekuensi logis dari posisi politik
dan ekonomi pelaku korupsi politik yang demikian menuntut adanya pemberlakuan
pembuktian terbalik dan ketegasan penjatuhan pidana. Penegakan hukum yang
berintegritas terkait dengan prasyarat tersedianya perangkat lunak dalam
penegakan hukum, yaitu ideologi penegak hukum. Semoga hukum tetap menjadi
Panglima dalam memberantas korupsi.
Salam hormat kepada para penegak hukum
yang jujur.. Merdeka.
Sumber : http://news.liputan6.com
0 komentar:
Posting Komentar