Kehidupan “Postmodern” adalah
produk terbaru dari politik kapitalisme. Dimana sesungguhnya hasil politik
secara substansinya seperti keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran secara
merata tidak akan ada yang didapatkan oleh masyarakat. Sebab sosok yang
fenomenal dianggap punya peran besar dalam meraih sukses. Dimana dia dianggap
mampu merebut hati pemilih pada semua lapisan masyarakat. Sosok yang bisa “menyihir”
masyarakat, agar ikhlas menitipkan berbagai persoalan dan harapan suatu negeri
kepadanya. Harapan agar daerahnya menjadi jargon seperti wahyu yang tertuang
dalam programnya, kebaikannya, selalu di tempatkan dalam rating tertinggi guna
meraih simpati dan menyihir masyarakat.
Politik pencitraan diri ini selalu di
junjung oleh media massa, cetak dan elektronik. Dimana seorang Tokoh
Baru (super hero) yang di kemas dalam bentuk yang merakyat, bersahaja,
tidak kasar, feodal dan tidak korup. “Kemasan” seperti inilah yang selalu
berhasil menggugah emosi masyarakat untuk kemudian memilih tokoh ini. Berbeda
dengan lawanlawannya selalu digambarkan sebaliknya, bahkan lebih mengerikan
lagi. Dari gambaran ini media bagaimana memainkan perannya sebagai control
terhadap kekuasaan. Membingkainya dalam suguhan berperilaku baik dan buruk.
Agar ada yang terbunuh. Sehingga keterasingan public terhadap keberadaannya
lantaran citra dan identitas diri yang digambarkan oleh media begitu buruk
padanya. Secara umum kita telah menjual diri pada sosok penawar yang lebih
tinggi agar bisa menjadi komoditi dan menciptakan identitas agar di konsumsi
public.
Dunia postmodern dimana mereka dilihat
tetapi tidak melihat, telah menjadi pola konsumsi kita seharihari. Dengan bodoh
dan tanpa hentinya kita yang bukan siapsiapa ini memandangi orangorang yang
selalu ditampilkan di media, memandangi citra yang baik dan buruk seseorang
lalu mulai mengembangkan issue dan membentuk opini. Dengan kata lain kita lebih
mementingkan gambaran mental serta penampilan yang dilihat di media dianggap
lebih penting daripada perannya dalam masyarakat yang tidak dilihat.Sialnya
lagi kadang kita percaya pada kemasan yang menarik daripada produk aslinya yang
belum dikemas.
Di titik inilah masyarakat seharusnya
kritis. Tidak terlena dengan kemasan yang dilakukan oleh media yang terbawah
emosi dan kepentingan kepada calon tertentu.
Dengan mengutip salah satu pemikir “Marxis” bahwa pencitraan diri
merupakan sebuah “New Products” dari politik kapitalis dan postmodern adalah
tahapannya.
Oleh sebab itu sesungguhnya politik
secara substansi seperti keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran secara merata
tidak akan didapatkan oleh masyarakat, karena tokohtokoh ini hanya menawarkan
pencitraan diri. Dan masyarakat secara tidak sadar “dipaksa” untuk memilih
salah satu diantara mereka. Selain aturan, juga emosi akibat pencitraan ini.
Oleh sebab itu masyarakat harus cerdas dalam menentukan pilihan. Supaya kelak,
bila harapannya tidak terpenuhi oleh siapapun yang terpilih telah menentukan
sikap politiknya dengan baik dan benar.
Sumber : kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar